Bab 23


Bil itonite

SENIN pagi yang cerah. Sepucuk puisi dibungkus kertas ungu bermotif kembang api. Bunga-bunga kuning kelopak empat dan kembang jarum merah primadona puncak gunung diikat pita rambut biru muda. Tak juga hilang kesegarannya karena semalam telah kurendam di dalam vas keramik. Tak sabar rasanya ingin segera kuberikan pada A Ling. Benda-benda ajaib ini adalah properti sekuel cinta pagi ini, dan skenarionya adalah: ketika A Ling menyodorkan kotak kapur, aku serta-merta meletakkan bunga dan puisiku ini ke tangannya yang terbuka. Tak perlu ada kata-kata. Biarlah ia menghapus air matanya karena keindahan bunga-bunga liar dari puncak gunung. Biarlah ia membaca puisiku dan merasakan kue keranjang tahun ini lebih enak dari tahun-tahun lalu.

Aku gugup dan bergegas menghampiri lubang kotak kapur segera setelah A Miauw memberi perintah. Namun ketika tinggal

dua langkah sampai ke kotak itu aku terkejut tak alang kepalang. Aku terjajar mundur ke belakang dan nyaris terantuk pada kalengkaleng minyak sayur. Aku terperanjat hebat karena melihat tangan yang menjulurkan kotak kapur adalah sepotong tangan yang sangat kasar. Tangan itu bukan tangan A Ling!

Tangan itu sangat ganjil, seperti sebilah tembaga yang jahat. Bentuknya benar-benar kebalikan dari tangan Michele Yeoh-ku. Tangan itu berotot, dekil, hitam legam, dan berminyak-minyak. Dari otot lengan atasnya menjalar urat-urat besar berwarna biru, timbul dan berkejaran.

Sebuah gelang akar bahar, tidak tanggung-tanggung, melingkar tiga kali pada lengan tembaga sepuhan tembaga itu. Ujung gelang diukir berbentuk kepala ular beracun kuat pinang barik yang menganga lapar siap menyambar. Sedangkan pada pergelangan siku, seperti dikenakan raksasa jahat dalam pewayangan, melekat gelang alumunium ketat dengan kedua ujung berbentuk gerigi kunci, biasa dipakai untuk tujuan-tujuan melanggar hukum. Memang tidak terdapat tato — pantangan bagi orang Melayu yang tahu agama, tapi pada tiga jari-jemarinya terdapat tiga mata cincin yang mengancam. Jari telunjuknya dibalut cincin batu satam terbesar yang pernah kulihat. Batu satam adalah material meteorit yang unik karena di muka bumi ini hanya ada di Belitong. Warnanya hitam pekat karena komposisi carbon acid dan mangaan, dan kepadatannya lebih dari baja sebingga tidak mungkin bisa dibentuk. Batu-batu ini biasa bersembunyi di lubang bekas tambang timah dan tak 'kan dapat ditemukan jika sengaja dicari. Hanya nasib baik yang dapat mengeluarkan satam dari perut bumi. Tahun 1922 kompeni menyebut batu ini billitonite dan dari sinilah Pulau Belitong mendapatkan namanya. Tanpa sama sekali mempertimbangkan estetika, pemilik tangan itu mengikat benda keramat dari tata surya itu apa adanya dengan kuningan murahan. Namun, ia memakainya dengan bangga seolah dirinya penguasa langit.

Pada jari manisnya terpajang cincin bermata batu akik yang mengesankan seperti sebuah batu kecubung asli Kalimantan yang amat berharga. Tapi aku tak bisa dibohongi. Batu itu tak lebih dari sintetis hasil masakan plastik yang dipadatkan dengan kristal pada suhu yang sangat tinggi. Pemakainya adalah seorang penipu. Yang ditipunya tak lain dirinya sendiri.

Yang terakhir, di jari tengahnya, tampak pemimpin dari seluruh cincin yang mengintimidasi dan pernyataan kecenderungan licik pemiliknya. Di situ menyeringai angker sebuah mata cincin besar tengkorak manusia dengan mata berlubang. Cincin ini dibuat dari bahan mur baja putih yang didapat secara kongkalikong dengan orang bengkel alat berat PN Timah. Cara mengubah baja ini menjadi cincin membuat siapa pun bergidik. Setelah dibentuk secara kasar dengan mesin bubut kemudian mur besar baja putih mentah yang sangat keras itu dikikir secara manual selama berminggu-minggu. Kebiasaan membuat cincin seperti ini sering dipraktikkan oleh karyawan PN Timah dalam tingkatan kuli. Kerja keras rahasia berminggu-minggu itu hanya akan menghasilkan sebuah cincin putih berkilauan yang jelek sekali. Sebuah kebiasaan yang tak masuk akalku sampai sekarang.

Lalu kuku-kuku pemilik tangan ini, aduh! Minta ampun, bentuknya seperti paras kuku-kuku yang terkena kutukan. Berbeda seperti langit dan bumi dibanding kuku-kuku A Ling yang bertahun-tahun menyihir pandanganku. Kuku-kuku ini sangat tebal, kotor, panjang tak beraturan, dan ujungnya pecah-pecah. Secara umum kuku-kuku ini mirip sekali dengan sisik buaya.

Belum hilang rasa terkejutku, aku mendengar suara ketukan keras kuku-kuku besi itu di permukaan papan dekat kotak kapur tanda tak sabar, maksudnya biar aku segera mengambil kapur itu. Dari dalam terdengar suara gerutuan tak bersahabat. Karena kukukuku itu sangat kasar maka ketukan itu terdengar demikian keras, membuatku semakin gelisah. Tapi yang paling merisaukanku adalah karena aku tak menemukan A Ling. Ke manakah gerangan Michele Yeoh-ku?

"Apa yang terjadi?" Syahdan mendekatiku. "Ikal, tangan siapa seperti pentungan satpam itu?"

Aku tak menjawab, tenggorokanku tercekik.

Tangan itu tak asing bagiku. Itu adalah tangan Bang Sad. Aku ingat ketika ia mengukir kepala ular pinang barik pada akar bahar pemberian pria-pria berkerudung tempo hari. Pernah diceritakannya padaku bahwa dibutuhkan waktu tiga minggu untuk membentuk akar panjang dari dasar laut itu menjadi gelang tiga lingkar. Akar yang tadinya lurus kencang ditaklukkan dengan cara melumurinya dengan minyak rem dan mengasapinya dengan sabar di atas suhu tungku yang terkendali.

Ketukan-ketukan itu terus menerorku. Bang Sad sungguh tak punya perasaan. Ia tak tahu aku sedang panik, gugup, dan risau karena tak menjumpai A Ling seperti kebiasaan yang telah berlangsung selama tujuh tahun. Baru kali ini terjadi hal di luar kebiasaan itu. Situasi ini sangat membingungkan buatku. Otakku tak bisa berpikir. Hanya Syahdan yang kiranya segera dapat mencerna keadaan, mengurai kebuntuan, memecah kebekuan. Ia berinisiatif mengambil kotak kapur itu. Bang Sad menarik tangannya seperti seekor binatang melata yang masuk kembali ke dalam sarangnya. Syahdan mendekatiku yang berdiri terpaku, wajahnya sendu. Ia ingin menunjukkan simpati tapi aku juga tahu bahwa ia sendiri merasa gentar. A Miauw yang dari tadi memerhatikan menghampiriku dengan tenang. Berdiri persis di sampingku ia menarik napas panjang dan mengatur dengan hati-hati apa yang ingin diucapkannya.

“A Ling sudah pigi Jakarta .... Nanti dia terbang naik Pesawat pukui 9. Ia harus menemani bibinya yang sekarang hidup sendiri, ia juga bisa mendapat sekolah yang bagus di sana ...." Aku tertegun putus asa. Rasanya tak percaya dengan apa yang kudengar. Terjawab sudah firasatku ketika Bodenga mengunjungiku. Semangatku terkulai lumpuh.

"Kalau ada nasib, lain hari kalian bisa bertemu lagi." A Miauw menepuk-nepuk pundakku.

Aku terdiam dan menunduk seperti orang sedang mengheningkan cipta. Tanganku mencengkeram kuat ikatan bunga-bunga liar dan selembar puisi.

"Ia titip salam buatmu dan ia ingin kamu menyimpan ini...." A Miauw menyerahkan sebuah kado yang dibungkus kertas berwarna ungu bermotif kembang api, persis sama dengan kertas sampul puisiku. Sebuah kebetulan yang hampir mustahil. Aku tahu, sejak awal Tuhan telah mengamati baik-baik cinta yang luar biasa indah ini.

Aku merasa seluruh barang dagangan yang ada di toko itu rubuh menimpaku. Dadaku sesak. Aku melihat sekeliling dan terpikir akan sesuatu. Aku menarik tangan Syahdan dan mengajaknya pulang.

Persis pukul 8.50 kami sampai di halaman sekolah, lalu berlari melintasi lapangan menuju pokok pohon gayam tempat kami sering duduk bersama-sama mengamati pesawat terbang yang datang dan pergi meninggalkan Tanjong Pandan. Kami mengambil posisi terbaik sambil bersandar di pokok pohon itu. Kami diam dan terus menengadahkan kepala, memicingkan mata, ke arah langit yang cerah biru menyilaukan.

Pukul 9.05.

Perlahan-lahan muncul sebuah pesawat Foker 28 melintas pelan di atas lapangan sekolah kami. Aku tahu di dalam pesawat itu ada A Ling dan ia juga pasti sedang sedih meninggalkan aku sendiri. Aku mengamati pesawat yang pergi membawa cinta pertamaku menembus awan-awan putih nun jauh tinggi di angkasa tak terjangkau. Pesawat itu semakin lama semakin kecil dan pandanganku semakin kabur, bukan karena pesawat itu semakin jauh tapi karena air mata tergenang di pelupuk mataku. Selamat tinggal belahan jiwaku, cinta pertamaku.

Setelah pesawat itu sama sekali menghilang Syahdan meninggalkanku sendirian. Tiba-tiba aku disergap oleh perasaan sunyi yang tak tertahankan. Rasanya di dunia ini hanya aku satu-satunya makhluk hidup. Daun-daun gayam yang rontok berbunyi seperti bilahbilah seng yang berjatuhan di kesunyian malam. Pohon gayam ini adalah satu-satunya pohon di tengah lapangan sekolahku yang sangat luas dan aku duduk sendiri di bawahnya, kesepian. Aku baru saja ditinggalkan oleh seseorang yang telah memenuhi hatiku sampai meluap-luap selama lima tahun terakhir ini. Lalu dengan tiba-tiba pagi ini, ia begitu saja tercabut dari kehidupanku.

Aku membuka kado yang dititipkan A Ling. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot dan sebuah diary yang memuat berbagai catatan harian dan lirik-lirik lagu. Aku membalik lembar demi lembar diary itu. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang khusus ditujukan untukku. Namun pada suatu halaman aku membaca judul sebuah puisi yang rasanya aku kenal, judulnya Bunga Krisan. Pada lembar-lembar berikutnya aku melihat seluruh puisi yang dulu pernah kukirimkan kepadanya dan selalu ia kembalikan. A Ling menyalin kembali seluruh puisiku dalam diary-nya..



Загрузка...