Bab 33
Anakronisme
DAN inilah yang paling menyedihkan dari seluruh kisah ini. Karena tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Tuhan maka tak absurd untuk menyamakan PN Timah dengan The Tower of Babel di Babylonia. Sebuah analogi yang pas karena setelah membentuk provinsi baru kawasan itu juga disebut Babel: Bangka Belitung. Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK.
Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti hainya Babylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang menghinakan.
Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat sebelumnya, Perusahaan Gulliver yang telah berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi, sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi di Babylonia seperti Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong. Segera setelah harga timah dunia turun, keadaan diperparah oleh ditemukannya sumber suplai lain di beberapa negara, PN Timah pun megap-megap. Orang Islam tidak diperbolehkan memercayai ramalan namun ingin rasanya mengenang mimpi Mahar bertahun-tahun yang lalu di gua gambar tentang kehancuran sebuah kekuatan besar di Belitong. Hari ini mimpi meracau itu terbukti. Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka memalingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang. Jargon persatuan dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul. Pulau Belitong yang dulu biru berkilauan laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak tentu arah, gelap, dan sendirian. Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahankan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding, rnenariki genteng, menangkapi angsa dan ayam kalkun, mencabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkit tegel, dan membawa lari gorden. Tanda-tanda peringatan "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK" diturunkan dan dibawa pulang untuk dijadikan koleksi seperti cinderamata pecahan batu tembok Berlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield dan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya.
Rumah-ramah Victoria di kawasan Gedong, negeri dongeng tempat puri dan Cinderella bersukaria langsung berubah menjadi Bukit Carphatian tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan itu gelap gulita. Pohon-pohon beringin tak lagi imut tapi kini menunjukkan karakter aslinya sebagai pohon tempat kaum jin rajin beranak pinak. Daunnya yang rindang memayungi jalan raya seakan siap memangsa siapa pun yang melintas di bawahnya. Danau-danau buatan berubah menjadi habitat biawak dan tiang-tiang utama dari bangunan yang telah dijarah tampak seurnpama bangkai binatang besar atau tombak-tombak perang bangsa Troya yang panjang dan di puncaknya ditancapkan kepala-kepala manusia. Sekolah-sekolah PN bubar, berubah menjadi bangunan kosong yang termangu-mangu sebagai jejak feodalisme. Kini sekolah-sekolah itu lebih cocok menjadi lokasi shooting acara misteri. Ratusan siswa PN yang masih aktif dilungsurkan ke sekolah-sekolah negeri atau sekolah kampung.
Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak Bukit Samak — dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar se-Asia Tenggara — dijarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput dari anarkisme. Obat-obatan dihamburkan ke jalan, kursi dan meja roda dibawa pulang atau dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang tergenang dalam piring piala ginjal*, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundi-pundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada. rakyat kecil.
Bentangan kawat telepon digulung. Kabel listrik yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah. Yang terpukul knock out tentu saja orang-orang staf. Tidak hanya karena secara mendadak kehilangan jabatan dan hancur citranya tapi sekian lama mapan dalam mentalitas feodalistik terorganisasi yang inheren tiba-tiba menjadi miskin tanpa pelindungan sistem. Karakter terbunuh secara besar-besaran. Verloop ke wisma-wisma timah yang mewah di Jakarta atau Bandung dua kali setahun sekarang harus diganti dengan mencangkul, memanjat, memancing, menjerat, menggali, mendulang, atau menyelam untuk menghidupi keluarga. Anakronistis mungkin, sebab mereka kembali hidup bersahaja seperti zaman antediluvium ketika orang Melayu masih menyembah bulan. Karena tak terbiasa susah dan ditambah dengan anak-anak yang tak mau berkompromi dalam menurunkan standar hidup — sementara mereka tengah kuliah di universitas-universitas swasta mahal — membuat orang-orang staf stres berkepanjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan stroke, operasi jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang. Mereka seperti orang tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera postpowersyndrome, biasanya tak bertahan lama dan segera check in di Zaal Batu. Komidi berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun terjungkal.
Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar. Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi jalar. Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong. Mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan bijih-bijih timah. Mereka bekerja dengan pakaian seperti tarzan namun menghasilkan 15.000 ton timah per tahun. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal keruk, tambang-tambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme.
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum sangat keras seperti pelaku subversi.
TAHUN 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup. Namun perintis jalan terang yang gagah berani ini meninggalkan semangat pendidikan Islam yang tak pernah mati. Sekarang Belitong telah memiliki dua buah pesantren. Pembangunan pesantren ini adalah harapan para tokoh Muhammadiyah sejak lama. Generasi baru para legenda K.H. Achmad Dahlan, Zubair, K.A. Abdul Hamid, Ibrahim bin Zaidin, dan K.A. Harfan Effendi Noor lahir silih berganti. Suatu harinanti akan ada yang mengisahkan hidup mereka laksana sebuah epik.
Tak dapat dikatakan bahwa seluruh alumni sekolah Muhammadiyah Belitong telah menjadi orang yang sukses — apalagi secara material — namun para mantan pengajar sekolah itu patut bangga bahwa mereka telah mewariskan semacam rasa bersalah bagi mantan muridnya jika mencoba-coba berdekatan dengan khianat terhadap amanah, jika mempertimbangkan dirinya merapakan bagian dari sebuah gerombolan atau rencana yang melawan hukum, dan jika membelakangi ayat-ayat Allah. Itulah panggilan tak sadar yang membimbing lurus jalan kami sebagai keyakinan yang dipegang teguh karena bekal dari pendidikan dasar Islam yang tangguh di sekolah miskin itu. Perasaan beruntungku karena didaftarkan ayahku di SD miskin itu puluhan tahun lalu terbukti dan masih berlaku hingga saat ini. Fondasi budi pekerti Islam dan kemuhammadiyahan yang telah diajarkan padaku menggema hingga kini sehingga aku tak pernah berbelok jauh dari tuntunan Islam bagaimanapun ibadahku sering berfluktuasi dalam kisaran yang lebar.
Sepanjang pengetahuanku tak ada mantan warga Muhammadiyah yang menjadi bagian dari sebuah daftar para kriminal, khususnya koruptor. Pesan Pak Harfan bahwa hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya terefleksi pada kehidupan puluhan mantan siswa Muhammadiyah yang kukenal dekat secara pribadi. Mereka adalah tipikal orang yang sederhana namun bahagia dalam kesederhanaan itu. Pak Harfan dan mantan pengajar perguruan Muhammadiyah hingga kini tak pernah berhenti mendengungkan syiar Islam. Mereka bangga memikul takdir sebagai pembela agama. Bu Mus dan guru-guru muda Muhammadiyah mendapat kesempatan dari Depdikbud untuk mengikuti Kursus Pendidikan Guru (KPG) lalu diangkat menjadi PNS. Bu Mus sekarang mengajar Matematika di SD Negeri 6 Belitong Timur. Beliau telah menjadi guru selama 34 tahun dan mengaku tak pernah lagi menemukan murid-murid spektakuler seperti Lintang, Flo, dan Mahar.