Bab enam belas

I

Abad demi abad berlalu Dunia terentang dan berputar… Waktu tidak bergerak… Tetap diam — melewati beribu-ribu tahun…

Bukan. Hanya satu dua menit saja…

Dua orang berdiri memandang ke bawah pada sebuah mayat…

Dengan perlahan, sangat perlahan-lahan, Vera Claythorne dan Philip Lombard mengangkat kepala mereka dan saling memandang mata masing-masing…

II

Lombard tertawa.

Dia berkata,

“Jadi begitukah, Vera?”

Vera berkata,

“Tidak ada seorangpun di pulau ini — sama sekali tidak ada — kecuali kita berdua…”

Suaranya merupakan sebuah bisikan — tidak lebih dari itu.

Lombard berkata,

“Tepat. Jadi kita tahu di mana kita berada bukan?”

Vera berkata,

“Bagaimana cara melakukannya — tipuan dengan beruang marmer itu?”

Dia mengangkat bahu.

“Tipuan yang hebat, Nona — Yang, sangat bagus…”

Mata mereka bertemu lagi.

Vera berpikir:

“Mengapa aku tidak pernah memperhatikan wajahnya dengan baik selama ini? Serigala — itulah dia — wajah seekor serigala… Dengan gigi-gigi yang mengerikan…”

Lombard berkata dengan geram — suara yang berbahaya dan menakutkan,

“Ini adalah akhir, mengerti. Kita telah sampai pada kebenaran itu. Dan ini adalah akhir…”

Vera berkata dengan tenang,

“Saya mengerti…

Dia menatap ke arah laut. Jenderal Macathur pun menatap ke laut — kapan — baru kemarin? Atau kemarin dulu? Dia juga mengatakan, “Ini adalah saat akhir…”

Dia mengatakannya dengan ikhlas bahkan seperti mengharapkan.

Tetapi bagi Vera kata-kata itu — pikiran itu membuatnya berontak. Tidak, ini bukan akhir.

Dia memandang pada mayat di bawah. Dia berkata,

“Kasihan Dokter Armstrong…”

Lombard mencemoh. Dia berkata,

“Apa-apaan ini? Rasa kasihan seorang wanita?”

Vera berkata,

“Kenapa tidak? Apa Anda tidak mempunyai rasa kasihan?”

Dia berkata,

“Saya tidak punya rasa kasihan untuk Anda. Jangan mengharapkaln itu!”

Vera memandang mayat itu lagi. Dia berkata,

“Kita harus memindahkannya. Mengangkatnya ke dalam rumah.”

“Untuk disatukan dengan korban-korban lainnya? Semuanya rapi. Saya tidak perduli kalau dia tetap di situ.”

Vera berkata,

“Paling tidak kita angkat dia supaya tidak kena air laut.”

Lombard tertawa. Dia berkata,

“Boleh saja.”

Dia membungkuk, menarik mayat itu. Vera membantu, mereka menarik dengan badan berhimpitan. Vera menarik sekuat tenaga.

Lombard terengah-engah.

“Bukan pekerjaan yang mudah.”

Tetapi akhirnya mereka berhasil. Mereka menarik tubuh Armstrong ke batas tepi air.

Lombard berkata sambil menegakkan badan,

“Puas?”

Vera berkata,

“Cukup.”

Nada suaranya mengancam. Lombard berputar. Pada waktu dia menepuk saku celananya dia pun tahu bahwa saku itu telah kosong.

Vera telah menjauh kira-kira dua meter dan menatapnya dengan pestol di tangan.

Lombard berkata.

“Jadi itukah yang menjadi sebab rasa kasihan Anda’

Anda bermaksud mencopet.”

Vera mengangguk.

Dia memegang pestol itu dengan tenang dan tidak gemetar.

Kematian sangat dekat pada Philip Lombard sekarang. Padahal sebelumnya tidak pernah sedekat itu.

Namun demikian, dia belum menyerah.

Dia berkata dengan nada memerintah,

“Berikan pestol itu pada saya.”

Vera tertawa.

Lombard berkata,

“Ayo, berikan.”

Otaknya yang cepat, bekerja. Cara yang mana — taktik yang mana — ajak gadis itu berbicara — meninabobokkan dia atau terkam-

Sepanjang hidup Lombard selalu melewati bahaya. Dan sekarang dia menghadapinya.

Dia berkata perlahan-lahan, sambil mendebat,

“Coba, Nona, Anda dengar —”

Dan kemudian dia meloncat. Cepat bagai harimau — seperti makhluk buas lain…

Dengan otomatis Vera menekan pelatuknya…

Tubuh Lombard yang melayang terhenti kemudian jatuh berdebam di tanah.

Vera mendekat dengan hati-hati. Pestol masih tetap di tangan.

Tetapi dia tidak perlu hati-hati.

Philip Lombard mati — jantungnya tertembak…

III

Kelegaan meresap di hati Vera — kelegaan yang meluap, menggelegak.

Akhirnya semua berlalu.

Tidak ada higi ketakutan — tidak ada lagi ketegangan…

Dia sendirian di pulau itu…

Sendirian dengan sembilan mayat…

Tapi apa perdulinya? Dia hidup…

Dia duduk di sana — hatinya bahagia luar biasa — damai luar biasa…

Tidak ada ketakutan lagi…

IV

Matahari mulai tenggelam, ketika akhirnya Vera bergerak. Dia meresapi rasa aman yang memenuhi hatinya.

Dia sekarang merasa lapar dan mengantuk. Betul-betul mengantuk. Dia ingin membaringkan dirinya di tempat tidur — lalu tidur, tidur, tidur…

Besok pagi mungkin mercka datang dan menyelamatkan dia — tapi dia tidak begitu perduli. Dia tidak berkeberatan tinggal di sini — karena sekarang dia sendirian…

Oh, damai, damai yang diimpikan..,.

Dia bangkit berdiri dan berjalan ke rumah.

Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Tidak ada kengerian yang menungpinya! Hanya sebuah rumah biasa yang dibangun sangat modern. Namun demikian dia begitu ketakutan tadi pagi, sehingga tidak sanggup melihatnya tanpa merasa gemetar…

Takut — alangkah anehnya rasa takut itu!…

Tetapi itu telah berlalu. Dia menang — dia telah mengalahkan bahaya yang amat mengerikan. Dengan kecakapan dan ketrampilannya dia berhasil membalikkan posisi calon pembunuhnya menjadi korban.

Dia berjalan menuju rumah.

Matahari terbenam, langit di sebelah barat semburat dengan warna merah dan indah dan damai…

Vera berpikir,

“Semuanya seperti mimpi……”

Alangkah letihnya dia — betul-betul letih. Badannya sakit dan penat, kelopak matanya mengajak tidur. Tidak ada yang ditakutkan lagi… Tidur. Tidur… tidur… tidur…

Tidur dengan aman karena dia sendirian di pulau ini.

Seorang anak Negro tinggal sendirian.

Dia tersenyum sendiri.

Dia masuk melewati pintu depan. Rumah ini juga aneh rasanya — aman.

Vera berpikir:

“Biasanya orang tidak ingin tidur kalau ada mayat, apalagi hampir di setiap kamar!”

Apakah sebaiknya dia ke dapur dan makan dulu?

Dia ragu-ragu sejenak, tetapi kemudian memutuskan untuk tidak ke dapur tapi tidur. Dia terlalu capai.

Dia berhenti di depan pintu ruang makan. Di meja masih ada tiga boneka Negro porselin.

Vera tertawa.

Dia berkata,

“Engkau ketinggalan. Anak-anak.”

Dia mengambil dua boneka dan melemparnya ke luar lewat jendela. Dia mendengar bunyi boneka itu pecah di batu.

Boneka ketiga diambilnya dan dibawanya. Dia berkata:

“Engkau ikut aku. Kita sudah menang, Sayang! Kita sudah menang!”

Ruangan dalam rumah itu agak gelap karena sinar matahari sudah tidak kelihatan.

Dengan boneka Negro tergenggam di tangan, Vera menaiki tangga perlahan-lahan, karena kakinya tiba-tiba menjadi capai sekali.

“Seorang anak Negro tinggal sendirian.” Bagaimana akhir sajak itu? Oh, ya. “Dia menikah dan habislah sudah.”

Menikah… Lucu, dia tiba-tiba saja merasa bahwa Hugo ada di dalam rumah…

Perasaan itu sangat kuat. Ya, Hugo menunggunya di lantai atas.

Vera berkata kepada dirinya sendiri,

“Jangan tolol. Engkau begitu letih sehingga membayangkan hal-hal yang bukan-bukan…”

Perlahan-lahan dia naik…

Di anak tangga paling atas sebuah benda terjatuh dari tangannya. Benda itu jatuh di atas karpet yang sangat halus sehingga tidak menimbulkan suara sama sekali. Dia tidak tahu bahwa pestolnya jatuh.

Dia hanya memikirkan boneka Negro dalam genggamannya,

Alangkah sepinya rumah inil Tetapi tidak kelihatan seperti rumah yang kosong…

Hugo, di atas, menunggunya…

“Seorang anak Negro tinggal sendirian.” Bagaimana bunyi kalimat yang terakhir? Ada disebut-sebut tentang ‘menikah’ atau apa ya?

Dia telah sampai di pintu kamarnya sekarang.

Hugo menunggunya di dalam — dia yakin akan hal itu.

Dia membuka pintu…

Dia tersentak…

Benda apa itu — tergantung pada lengkungan di atas atap! Seutas tali dengan ikatan jerat yang siap dipakai. Dan sebuah kursi untuk tempat berdiri — kursi yang bisa disepaknya… Itulah yang diiinginkan Hugo…

Dan, tentu saja itulah kalimat terakhir dari sajak itu.

“Menggantung diri, habislah sudah…”

Boneka Negro porselin itu jatuh dari tangannya. Boneka itu menggelinding dan pecah membentur tepi perapian.

Bagaikan robot Vera melangkah ke depan. Inilah akhir — di sini, di mana tangan lembab dan dingin (tentu saja tangan Cyril) itu pernah menyentuh lehernya…

“Engkau boleh berenang ke karang, Cyril…”

Itulah pembunuhan — semudah itu!

Tetapi setelah itu engkau akan selalu teringat… Vera naik ke atas kursi, matanya kosong menatap ke depan bagaikan seorang yang sedang bermimpi sambil, berjalan… dia memasang tali itu pada lehernya.

Hugo ada di situ dan melihat apa yang harus diperbuatnya.

Vera menyepak kursi itu…

Загрузка...