Bab dua

I

Di luar stasiun Oakbridge sekelompok orang berdiri termangu-mangu. Di belakang mereka berdiri kuli-kuli dengan kopor-kopor. Salah seorang berteriak, ‘Jim’!”

Sopir salah satu taksi maju ke depan.

“Anda akan ke Pulau Negro?” tanyanya dengan aksen Devon yang halus. Empat suara membenarkan — dan tiba-tiba, dengan diam-diam mereka saling memperhatikan.

Sopir itu berkata kepada Tuan Justice Wargrave sebagai orang tertua dari kelompok itu,

“Di sini ada dua buah taksi, Tuan. Salah satu harus menunggu sampai kereta lambat dari Exeter masuk — kira-kira lima menit lagi — hanya ada seorang tuan yang kami tunggu. Mungkin salah seorang dari Anda tidak keberatan menunggu? Anda, akan lebih enak begitu.”

Menyadari akan kedudukannya sebagai sekretaris, Vera Daythorne berkata,

“Saya akan menunggu,” katanya, “silakan Anda pergi dahulu.” Dia memandang ketiga orang lainnya. Tatapan dan suaranya sedikit mengandung nada memerintah.

Nona Brent berkata dengan kaku, “Terima kasih,” dan sambil menundukkan kepalanya dia masuk ke dalam taksi yang pintunya telah dibuka oleh sopir.

Tuan Justice Wargrave mengikutinya.

Kapten Lombard berkata,

“Saya akan menunggu dengan Nona —”

“Daythorne,” kata Vera.

“Nama saya Lombard, Philip Lombard.”

Kuli-kuli memasukkan kopor ke dalam taksi. Di dalam taksi, Tuan Justice Wargrave berkata dengan hati-hati,

“Udaranya bagus sekali.”

Nona Brent berkata, “Ya, betul.”

Lelaki tua yang menarik, pikirnya. Sangat berbeda dengan tipe laki-laki yang biasa berlibur di pantai. Jelaslah Nona atau Nyonya Oliver memang mempunyai teman-teman yang baik.

Tuan Justice Wargrave bertanya,

“Apakah Anda kenal daerah ini?”

“Saya pernah ke Cornwall dan Torquay, tapi baru kali ini ke Devon.”

Tuan Hakim berkata,

“Saya juga tidak kenal dengan daerah ini.”

Taksi mereka terus berjalan.

Sopir taksi kedua berkata,

“Apakah sementara menunggu Anda mau duduk?”

Vera berkata dengan tegas, “Tidak.”

Kapten Lombard tersenyum. Dia berkata,

“Dinding yang cerah itu kelihatan lebih menarik. Atau Anda mau masuk ke dalam stasiun?”

“Tidak. Saya senang bisa keluar dari kereta yang sesak itu.”

Kapten Lombard menjawab,

“Ya, dalam cuaca seperti ini memang agak menjengkelkan bepergian dengan kereta api.”

Vera berkata,

“Saya harap akan tetap demikian — maksud saya cuaca ini. Musim panas kita sangat berbahaya.”

Dengan sedikit kaku Lombard bertanya,

“Apakah Anda kenal baik daerah ini?”

“Tidak, saya belum pernah ke sini.” Dia menambahkan dengan cepat, dengan maksud ingin menjelaskan posisinya, “Saya belum pernah bertemu dengan majikan saya.”

“Majikan Anda?”

“Ya, saya sekretaris Nyonya Owen.”

“Oh, begitu.” Sikapnya sedikit berubah, menjadi lebih yakin dan luwes. Dia berkata, “Bukankah itu agak aneh?”

Vera tertawa.

“Oh, tidak. Saya tidak menganggapnya demikian. Sekretaris nyonya itu tiba tiba saja sakit dan dia minta ke suatu agen untuk mencari pengganti sekretarisnya. Dan mereka mengirim saya.”

“Oh, begitu. Dan bagaimana kalau sesampai di sana Anda tidak menyukai pekerjaan itu?”

Vera tertawa lagi.

“Oh, ini hanya pekerjaan sementara — pekerjaan musim libur. Saya sudah punya pekerjaan tetap di suatu sekolah putri. Terus terang, saya ingin sekali bisa melihat Pulau Negro. Begitu banyak yang ditulis orang di koran tentang pulau ini. Apakah memang benar-benar luar biasa?”

Lombard berkata,

“Saya kurang tahu. Saya belum pernah melihatnya.”

“Benarkah? Keluarga Owen tentunya sangat menyukai pulau itu. Seperti apa sih mereka? Coba Anda ceritakan.”

Lombard berpikir, “Aneh — apakah aku harus berpura-pura sudah mengenal mereka?” Dia berkata dengan cepat,

“Ada lebah di lengan Anda. Jangan bergerak, diam saja.” Dia mengibaskan tangannya. “Nah. Sudah terbang!”

“Oh, terima kasih. Banyak sekali lebah pada musim panas ini.”

“Ya, saya kira karena panas. Siapa yang kita tunggu? Anda tahu?”

“Sama sekali tidak tahu.”

Lengkingan kereta yang datang terdengar keras dan panjang. Lombard berkata,

“Itu pasti keretanya.”

Yang muncul dari pintu seorang lelaki tua yang tinggi dengan sikap militer. Rambut abu-abunya dipotong pendek dan kumisnya yang putih teratur rapi.

Kuli yang mengikutinya, sedikit terhuyung-huyung karena membawa kopor kulit yang besar dan berat, menunjuk Vera dan Lornbard.

Dengan sikap tegas Vera mendekatinya. Dia berkata,

“Saya sekretaris Nyonya Owen. Ada sebuah mobil yang menjemput Anda.” Kemudian dia menambahkan, “Ini Tuan Lombard.”

Mata yang kebiru-biruan, meskipun tua tapi tajam, menilai Lombard. Untuk sesaat penilaian itu tampak pada matanya — tetapi tidak seorang pun yang mengerti.

“Laki-laki yang menarik. Tapi ada sesuatu yang kurang beres…”

Ketiganya masuk ke dalam taksi. Mereka melewati jalanan sepi Oakbridge dan menuju jalan raya Plymouth sekitar satu mil. Kemudian mereka sampai di jalan desa yang ruwet, curam, rindang, dan sempit.

Jenderal Macarthur berkata,

“Saya sama sekali tidak mengenal bagian Devon ini. Saya tinggal di Devon Timur dekat perbatasan Dorset.”

Vera berkata,

“Tempat ini sangat indah. Bukit-bukit dan tanahnya yang merah dan pepohonan yang serba hijau kelihatan bagus.”

Philip Lombard berkata dengan kritis,

“Tempat ini agak terpencil… saya sendiri suka tempat yang terbuka, di mana kita bisa melihat sesuatu yang akan datang.”

Jenderal Macarthur berkata kepadanya,

“Rasanya, Anda telah melancong ke banyak tempat. Benarkah?”

Lombard mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh.

“Saya memang pernah pergi ke beberapa tempat, Tuan.”

Dia berpikir sendiri, “Pasti dia akan bertanya apakah aku dulu juga ikut perang. Orang-orang tua biasanya begitu.”

Tetapi Jenderal Macarthur tidak menyebut-nyebut perang.

II

Mereka naik bukit yang curam dan kemudian turun melewati jalan berkelak-kelok menuju Sticklehaven. Sekelompok rumah dengan satu dua perahu penangkap ikan yang terdampar di pantai.

Dengan diterangi cahaya matahari yang akan tenggelam, mereka bisa melihat bayangan Pulau Negro yang mencuat dari laut di sebelah selatan.

Vera berkata dengan heran, “Jauh sekali.”

Vera memang mempunyai gambaran yang lain. Dia membayangkan pulau itu dekat dengan pantai dan dihiasi sebuah rumah putih yang indah. Tetapi temyata rumah itu tidak kelihatan sama sekali. Dia hanya melihat karang besar yang menonjol dengan bentuk kepala seorang Negro raksasa. Ada sesuatu yang menyeramkan pada pulau itu. Vera bergidik.

Di luar Penginapan Seven Star terlihat tiga orang yang sedang duduk duduk. Hakim Tua yang duduk membungkuk, Nona Brent yang duduk tegak, dan orang ketiga, seorang laki-laki besar dan congkak yang memperkenalkan dirinya.

“Kami memutuskan untuk menunggu Anda saja,” katanya. “Jadi sekali jalan. Perkenalkan, saya Davis. Tempat kelahiran saya Natal, Afrika Selatan, ha ha!”

Dia tertawa berderai-derai.

Tuan Justice Wargrave memandangnya dengan sebal. Jika ini di sidang pengadilan dia akan memerintahkan agar sidang segera dibubarkan. Sedang Nona Emily Brent tidak tahu apakah dia menyukai koloni atau tidak.

“Sebelum kita berangkat apakah ada yang ingin minum?” tanya Tuan Davis dengan ramah.

Tidak seorang pun yang mengiakan usulnya. Tuan Davis berputar dan mengacungkan jarinya.

“Jika demikian kita tidak boleh berlama-lama. Tuan dan nyonya rumah pasti menunggu kita,” katanya.

Dia mungkin melihat ada rasa enggan menyelimuti anggota-anggota lain dalam rombongan itu.

Sebagai jawab isyarat panggilan Davis, seorang laki-laki yang sedang bersandar di dinding maju menemui mereka. Langkah-langkahnya menunjukkan bahwa dia orang yang tidak asing lagi dengan laut. Lelaki itu berwajah keras, dan matanya yang gelap memberi kesan menghindar. Dia berbicara dengan logat Devon yang halus.

“Apakah Anda semua siap berangkat? Perahu sudah menunggu. Ada dua orang tuan lagi yang akan datang dengan mobil, tetapi Tuan Owen mengatakan tidak perlu menunggu mereka karena kita tidak tahu jam kedatangan mereka.”

Rombongan itu berdiri. Lelaki tersebut mendahului dan membawa mereka menuju dermaga kecil dari batu. Di sampingnya ada perahu motor.

Emily Brent berkata,

“Perahu itu sangat kecil.”

Pemilik perahu berkata membujuk,

“Perahu ini baik, Bu. Dengan perahu ini ibu dapat pergi ke Plymouth dalam waktu singkat.”

Tuan Justice Wargrave berkata dengan tajam,

“Jumlah kita banyak.”

“Perahu itu bisa membawa dua kali lipat, Pak.”

Philip Lombard berkata dengan suara ringan dan menyenangkan,

“Tak apalah — cuaca cerah — tidak ada gelombang.”

Dengan agak ragu ragu Nona Brent membiarkan dirinya ditolong masuk ke perahu. Yang lain mengikutinya. Sejauh itu belum ada hubungan yang akrab di antara mereka. Kelihatannya satu sama lain masih ragu-ragu.

Ketika mereka bersiap siap untuk berangkat, tukang perahu yang sedang melepas tali tambatan itu tertegun.

Sebuah mobil sedang menuruni jalanan kecil yang curam. Mobil itu tidak hanya kelihatan kuat tetapi juga bagus sekali. Di dalamnya duduk seorang laki-laki muda, rambutnya melambai ke belakang tertiup angin. Dalam cahaya petang dia kelihatan tidak seperti manusia, melainkan seperti dewa, dewa pahlawan dari Saga Utara.

Dia membunylkan klakson dan terdengarlah raungan yang keras menggema di karang karang teluk itu.

Kejadian itu kelihatan luar biasa sekali. Di dalam mobil, Anthony Marston terlihat bagaikan sesuatu yang tidak fana. Lebih dari seorang yang akan mengingat kejadian itu.

III

Fred Narracot duduk di dekat mesin sambil berpikir. Kelompok yang aneh. Tamu-tamu Tuan Owen ini tidak seperti yang dibayangkannya. Dia membayangkan kelompok yang lebih mewah. Orang-orang penting, kaya, dan siap dengan pakaian khusus untuk berlayar.

Rombongan ini sama sekali tidak seperti tamu Tuan Elmer Robson. Senyum tipis menghias bibir Fred Narracot ketika dia teringat akan tamu-tamu milyuner itu. Benar-benar sebuah pesta. Dengan minuman yang berlimpah!

Tuan Owen ini pasti seorang yang lain sama sekali. Aneh, pikir Fred, karena dia tidak pernah bertemu dengan Tuan Owen — atau istrinya. Mereka belum pernah ke sini. Semuanya dipesan dan dibayar lewat Tuan Morris. Perintahnya selalu jelas dan pembayarannya tepat pada waktunya, tetapi sama saja, tetap aneh. Koran-koran memberitakan bahwa Tuan Owen agak misterius. Dan Narracot pun setuju dengan berita itu.

Barangkali Nona Gabrielle-lah yang membeli pulau itu. Tapi pikiran itu segera ditinggalkan ketika dia memperhatikan penumpang-penumpangnya. Bukan kelompok semacam ini — tidak seorang pun dari mereka yang kelihatan ada hubungan dengan bintang film.

Dia mencoba membuat kesimpulan.

Seorang perawan tua yang sikapnya menyebalkan — dia mengenal sikap ini dengan baik. Pasti dia seorang yang cerewet. Bapak tua bekas militer kelihatan benar-benar seperti bekas tentara. Wanita muda yang menarik — tetapi dari golongan biasa, tidak mewah sama sekali — tidak punya sentuhan Hollywood. Tuan yang ramah dan penuh gaya — dia bukan seorang terpelajar. Seperti pensiunan pedagang, pikir Fred Narracot. Tuan yang lain, yang langsing, bagaikan orang lapar dengan mata yang bergerak cepat, adalah yang paling aneh. Mungkin ada hubungannya dengan film.

Tidak, hanya ada seorang penumpang yang cukup memuaskan di perahunya. Tuan yang datang paling akhir, yang datang dengan mobil (dan mobil itu begitu mewah! Pasti harganya beratus ratus pound). Dia tipe yang cocok. Pasti lahir bergelimang uang.

Kalau saja yang lain seperti dia… dia bisa mengerti… Kalau dipikir rasanya aneh — semuanya aneh — sangat aneh…

IV

Perahu memutari karang. Akhirnya rumah itu pun kelihatan. Bagian selatan pulau itu sangat berbeda. Bagian itu melandai ke laut. Rumahnya menghadap ke selatan — rendah, berbentuk persegi dan kelihatan modern dengan jendela-jendela bundar yang memungkinkan cahaya masuk sebanyak banyaknya.

Rumah yang mempesona — sebuah rumah harapan!

Fred Narracot mematikan mesin perahunya, dan mereka menuju ke jalan masuk di antara karang-karang.

Philip Lombard berkata dengan tajam,

“Dalam cuaca buruk pasti sulit berlabuh di sini.”

Fred Narracot berkata dengan suara riang,

“Kalau ada angin tenggara tidak bisa berlabuh di sini. Kadang-kadang sampai seminggu, atau lebih.”

Vera Daythorne berpikir:

“Penyediaan makanan pasti susah. Itu yang paling menyulitkan di sebuah pulau. Semua persoalan rumah tangga menguatirkan.”

Perahu menggeser karang. Fred Narracot meloncat ke luar. Dia dan Lombard membantu penumpang-penumpang lain turun. Narracot menambatkan perahunya pada sebuah cincin di karang. Kemudian dia memimpin rombongan menaiki tangga karang.

Jenderal Macarthur berkata,

“Ha! Tempat yang menyenangkan!”

Tetapi anehnya dia merasa tidak enak. Tempat yang aneh.

Ketika rombongan itu menaiki tangga dan akhirnya sampai ke teras, semangat mereka pun segar kembali. Di pintu masuk yang terbuka, seorang pelayan berdiri menunggu mereka dengan sikap meyakinkan yang menambah kepercayaan rombongan itu. Dan rumah itu sendiri sangat mempesona. Pemandangan dari teras sangat indah…

Dengan sedikit membungkuk pelayan tersebut maju. Tubuhnya semampai dan rambutnya keabu-abuan, sikapnya sangat hormat. Dia berkata,

“Silakan lewat sini.”

Di dalam ruangan yang luas minuman siap tersedia. Botol berderet-deret. Semangat Anthony Marston sedikit tergugah. Dia baru saja berpikir bahwa ini adalah pertunjukan yang aneh. Tidak seorang pun dari mereka yang segolongan dengannya. Mengapa si Badger Tua itu menyuruhnya kemari? Bagaimanapun persediaan minuman cukup menyenangkan. Dan es pun banyak.

Apa yang dikatakan pelayan itu?

Tuan Owen — sayang sekali kedatangannya tertunda — tidak dapat ke sini sampai besok. Perintah-perintah — apa pun yang mereka perlukan — apakah mereka ingin masuk ke kamar masing-masing?… makan malam dimulai jam delapan…

V

Vera mengikuti Nyonya Rogers ke lantai atas. Wanita itu membuka pintu di ujung lorong dan Vera berjalan memasuki kamar tidur yang indah. Sebuah jendela besar terbuka lebar ke arah laut dan sebuah lagi menghadap ke timur. Vera berseru gembira.

Nyonya Rogers berkata,

“Saya harap semua yang Anda perlukan memuaskan, Nona.”

Vera melihat sekelilingnya. Kopornya telah dibawa naik dan telah dibereskan. Di sisi lain kamar itu ada sebuah pintu terbuka yang menunjukkan adanya kamar mandi berporselin biru.

Dia berkata dengan cepat,

“Ya, saya kira sudah semuanya.”

“Bila memerlukan sesuatu Anda bisa membunyikan bel, Nona.”

Suara Nyonya Rogers datar dan monoton. Vera memandangnya dengan rasa ingin tahu. Wanita itu begitu pucat seperti hantu! Rambut tersisir ke belakang dan baju berwarna hitam. Matanya yang terang dan kelihatan aneh selalu bergerak dengan cepat.

Vera berpikir :

“Sepertinya dia takut dengan bayangannya sendiri.”

Ya, betul — ketakutan!

Dia seperti wanita yang berjalan dalam ketakutan abadi.

Berdiri bulu kuduk Vera. Apa yang ditakutkan wanita itu?

Dia berkata dengan ramah,

“Saya sekretaris Nyonya Owen yang baru. Saya rasa Anda mengetahui hal ini.”

Nyonya Rogers menjawab,

“Tidak, Nona, saya tidak tahu apa-apa. Hanya sebuah daftar tamu dan kamar-kamar yang mereka tempati.”

Vera berkata,

“Nyonya Owen tidak menyinggung-nyinggung saya?”

Bulu mata Nyonya Rogers mengedip.

“Saya tidak pernah ketemu Nyonya Owen — belum pernah. Kami datang dua hari yang lalu.”

Luar biasa sekali keluarga Owen ini, pikir Vera. Dengan keras dia bertanya,

“Ada berapa orang di sini?”

“Hanya saya dan Rogers, Nona.”

Vera mengerutkan dahi. Delapan orang tamu di rumah sepuluh dengan tuan dan nyonya rumah, dan hanya ada sepasang suami istri yang melayani mereka.

Nyonya Rogers berkata,

“Saya pandai memasak dan Rogers dapat membantu apa saja di rumah ini. Tentu saja saya tidak tahu sebelumnya bahwa rombongan tamu cukup besar.”

Vera berkata, “Tetapi Anda bisa mengatasinya?”

“Oh ya, Nona. Saya bisa. Jika jumlah tamu banyak, Nyonya Owen mungkin dapat memperoleh bantuan lain.”

Vera berkata, “Saya kira begitu.”

Nyonya Rogers berbalik dan pergi. Kakinya melangkah tanpa suara. Dia meninggalkan kamar bagaikan sebuah bayangan.

Vera menuju jendela dan duduk di situ. Pikirannya sedikit terganggu. Segalanya begitu aneh. Ketidakhadiran keluarga Owen, Nyonya Rogers yang pucat bagaikan hantu. Dan tamu-tamu! Ya, mereka pun aneh. Campuran tamu yang aneh dalam satu rombongan.

Vera berpikir :

“Andaikan saja aku telah bertemu dengan keluarga Owen… aku ingin tahu seperti apa mereka itu.” Dia bangkit dan berjalan dengan gelisah di dalam kamar.

Kamar tidur yang sempurna penuh dengan dekorasi gaya modern. Karpet putih susu di atas tantai papan yang mengkilat, dinding berwarna pastel — kaca panjang dikelilingi lampu. Sebuah perapian tanpa hiasan kecuali marmer putih berbentuk beruang, sebuah ukiran modern dengan jam di dalamnya. Di atasnya ada sebuah kertas persegi berisi sajak dengan bingkai khrom yang mengkilat. Dia berdiri di depan perapian dan membacanya.

Itu adalah sajak anak-anak waktu dia masih kecil dan masih diingatnya:

Sepuluh anak Negro makan malam;

Seorang tersedak, tinggal sembilan.

Sembilan anak Negro bergadang jauh malam;

Seorang ketiduran, tinggal delapan.

Delapan anak Negro berkeliling Devon;

Seorang tak mau pulang, tinggal tujuh.

Tujuh anak Negro mengapak kayu;

Seorang terkapak, tinggal enam.

Enam anak Negro bermain sarang lebah;

Seorang tersengat, tinggal lima.

Lima anak Negro ke, pengadilan;

Seorang ke kedutaan, tinggal empat.

Empat anak Negro pergi ke laut;

Seorang dimakan ikan herring merah, tinggal tiga.[1]

Tiga anak Negro pergi ke kebun binatang;

Seorang diterkam beruang, tinggal dua.

Dua anak Negro duduk berjemur;

Seorang hangus, tinggal satu.

Seorang anak Negro yang sendirian;

Menggantung diri, habislah sudah.

Vera tersenyum. Tentu saja! Ini Pulau Negro!

Dia duduk lagi di dekat jendela memandang ke laut. Alangkah luasnya! Dari sini tidak kelihatan sekeping daratan pun. Hanya air biru yang luas beriak dalam sinar matahari petang.

Laut… begitu tenang hari ini — kadang-kadang begitu kejam… Laut yang menarikmu ke kedalamannya. Tenggelam… ditemukan tenggelam… tenggelam di laut… tenggelam tenggelam tenggelam.

Tidak, dia tidak mau mengingat… dia tidak mau memikirkannya!

Semuanya telah berlalu…

VI

Dokter Armstrong ampai di Pulau Negro pada waktu matahari sedang tenggelam. Ketika menyeberang, dia bercakap-cakap dengan tukang perahu — orang daerah situ. Dia ingin memperoleh sedikit keterangan mengenai pemilik Pulau Negro, tetapi kelihatannya hanya sedikit yang diketahui Narracot, atau mungkin dia enggan bercerita.

Jadi Dokter Armstrong pun mengobrol tentang cuaca dan memancing.

Dia merasa letih setelah melewati perjalanan yang jauh. Bola matanya sakit. Mengemudi ke arah barat berarti menentang matahari.

Ya dia sangat lelah. Laut dan damai yang sempurna — itulah yang dibutuhkannya. Sebetulnya dia tingin mengambil liburan panjang. Tetapi dia tidak dapat melakukannya. Tentu saja secara finansial dia bisa melakukannya, tetapi dia tidak bisa absen terlalu lama. Dia tidak ingin dilupakan pasien-pasiennya. Walaupun sekarang dia sudah mempunyai kedudukan, dia harus tetap pada pekerjaannya.

Dia berpikir :

“Petang ini semuanya sama saja, aku akan menganggap diriku tidak akan pulang — aku telah selesai dengan London dan Harley Street dan semuanya.”

Ada sesuatu yang gaib pada sebuah pulau, biahkan kata “Pulau” itu sendiri memberikan arti yang fantastis. Engkau terpisah dari dunia — sebuah pulau adalah suatu dunia tersendiri. Mungkin suatu dunia, di mana engkau tak akan pernah kembali. Dia berpikir : “Aku sedang meninggalkan kehidupanku yang lama.”

Dan, dengan tersenyum dia mulai membuat rencana untuk masa depannya. Dia masih tersenyum sewaktu menaiki tangga karang.

Pada sebuah kursi di teras duduk seorang lelaki tua. Dokter Armstrong seperti pernah melihatnya. Di mana dia melihat muka kodok, leher kura-kura dan sikapnya yang bongkok ya, dan mata kecil pucat yang kelihatan cerdas itu? Pasti itu si Wargrave Tua.

Di pengadilan dia pernah memberikan bukti-bukti terhadapnya. Selalu kelihatan setengah mengantuk, tetapi cerdas dan lihai bila dihadapkan pada masalah hukum. Dia mempunyai pengaruh besar pada juri , bahkan kata orang dia bisa mempengaruhi mereka untuk memutuskan perkara sesuai dengan keinginannya , kapan saja.

Dia memang mendengar satu dua orang yang menentang Wargrave, dan menyebutnya sebagai hakim yang tidak tegas.

Sungguh lucu bisa bertemu dengan dia di tempat ini — di sini di luar dunia.

VII

Tuan Justice Wargrave bertanya-tanya pada dirinya:

“Armstrong? Aku ingat dia pernah menjadi saksi. Seorang yang teliti dan hati-hati. Semua dokter memang bodoh. Terutama yang di Harley Street.” Dengan perasaan benci dia mengingat kembali wawancara yang dilakukannya dengan tokoh penting yang sopan itu.

Dia menggerutu dengan keras,

“Minuman ada di ruang dalam.”

Dokter Armstrong berkata,

“Saya harus menemui tuan dan nyonya rumah dahulu.”

Tuan Justice Wargrave menutup kedua matanya lagi dan berkata,

“Anda tidak bisa melakukan itu.”

Dokter Armstrong kaget.

“Mengapa tidak?”

Tuan Hakim berkata,

“Tidak ada tuan dan nyonya rumah. Keadaan yang sangat aneh. Saya tidak mengerti tempat ini.”

Dokter Armstrong memandangnya satu menit. Ketika dia mengira Wargrave telah tertidur, tiba tiba Wargrave berkata,

“Apakah Anda kenal Constance Culmington?”

“Em — tidak, saya rasa tidak.”

“Tidak apa-apa,” kata Tuan Hakim. “Seorang wanita yang tidak jelas — dengan tulisan yang tidak bisa dibaca. Saya hanya ingin tahu apakah saya salah masuk rumah.”

Dokter Armstrong menggelengkan kepalanya dan terus naik masuk ke dalam.

Tuan Justice Wargrave merenungkan kejadian itu dan juga Constance Culmington. Tidak bisa dipercaya seperti wanita-wanita lain.

Pikirannya melayang kepada dua wanita yang ada di dalam rumah. Perawan tua dengan bibir yang terkatup rapat dan gadis itu. Dia tidak perduli dengan gadis itu — gadis brengsek berdarah dingin. Tidak — ada tiga wanita kalau Nyonya Rogers dihitung. Makhluk aneh, dia kelihatan seperti orang yang ketakutan setengah mati. Pasangan terhormat yang melakukan tugasnya dengan baik.

Pada saat itu Rogers ke teras. Tuan Hakim bertanya kepadanya,

“Apakah Lady Constance Culmington juga akan datang?”

Rogers memandangnya.

“Tidak, Tuan. Setahu saya tidak.”

“Ah,” mata Tuan Hakim terangkat. Tapi dia hanya menggerutu.

Dia berpikir :

“Pulau Negro, eh? Ada seorang Negro di tumpukan kayu.”

VIII

Anthony Marston sedang menikmati air hangat di bak mandinya. Kaki dan tangannya terasa kaku setelah melewati perjalanan yang panjang. Beberapa hal melintas di pikirannya. Anthony adalah seorang makhluk yang penuh perasaan — dan tindakan.

Dia berpikir: “Aku harus melakukannya,” dan setelah itu melupakan hal-hal lain yang ada di pikirannya.

Air hangat yang nyaman-badan yang penat — cukur — cocktail makanan malam.

Dan kemudian?

IX

Tuan Blore sedang memasang dasinya. Dia tidak begitu trampil dengan pekerjaan seperti ini.

Apakah sudah betul? Rasanya sudah.

Tak seorang pun yang benar-benar bersikap ramah kepadanya… lucu sekali cara mereka saling memperhatikan satu dengan yang lainnya — seolah-olah mereka tahu

Ya, itu terserah kepadanya.

Dia tidak mau bekerja asal-asalan.

Dia memandang syair anak anak dalam bingkai di latas rak perapian.

Cocok sekali!

Dia berpikir: “Teringat pulau ini ketika aku masih kecil. Tidak mengira kalau aku akan melakukan pekerjaan seperti ini dalam rumah ini. Mungkin merupakan hal yang baik, bila orang tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”

Jenderal Macarthur merengut sendiri.

Sialan semuanya. Segalanya betul-betul aneh! Sama sekali tidak seperti yang diharapkannya… Dia akan membuat alasan dan segera pergi… meninggalkan semua ini…

Tetapi perahu itu telah kembali. Dia harus tinggal.

Si Lombard itu laki-laki yang aneh. Bukan orang baik-baik. Dia berani bersumpah laki-laki itu pasti tidak jujur.

X

Ketika gong berbunyi, Philip Lombard keluar dari kamarnya dan berjalan menuju tangga. Dia melangkah seperti harimau, halus dan tak bersuara. Memang ada sesuatu yang seperti harimau padanya. Ada mangsa yang menyenangkan matanya.

Dia tersenyum sendiri.

Seminggu eh?

Akan dinikmatinya.

XI

Di dalam kamarnya, Emily Brent dengan baju sutera hitam siap untuk makan malam. Dia sedang membaca Alkitab.

Bibirnya bergerak-gerak mengikuti tulisan:

“Penyembah berhala akan dimasukkan ke lubang yang dibuatnya: kaki mereka akan dibawa masuk ke dalam jala yang mereka sembunyikan. Kita melihat Tuhan di pengadilan yang dibuat-Nya: si jahat terperangkap dalam tangannya sendiri. Si jahat akan dimasukkan ke dalam neraka.”

Bibirnya terkatup rapat. Dia menutup Alkitab-nya.

Sambil berdiri dia menyematkan sebuah bros di leher bajunya, dan turun untuk makan.

Загрузка...