Bab tiga

I

Makan malam hampir selesai.

Makanannya enak, anggurnya nikmat sekali. Rogers melayani dengan baik.

Setiap orang merasa segar. Mereka mulai bicara dengan lebih bebas dan akrab.

Tuan Justice Wargiave yang sedikit mabok karena anggur, menjadi menarik dengan gayanya yang kasar. Dokter Armstrong dan Anthony Marston sedang mendengarkan apa yang dikatakannya. Nona Brent mengobrol dengan jenderal Macarthur, mereka rupanya cocok. Vera Daythorne mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai Afrika Selatan kepada Tuan Davis. Tuan Davis menjawab dengan lancar. Lombard mendengarkan pembicaraan mereka. Satu dua kali dia mendongak ke atas sambil memicingkan matanya. Sekali-sekali mata itu melihat berkeliling meja, memperhatikan yang lain.

Tiba tiba Anthony Marston berkata?

“Benda-benda ini menarik sekali, bukan?”

Di tengah meja bundar, di atas tempat gelas terdapat boneka-boneka porselin.

“Negro,” kata Tony. “Pulau Negro. Aku rasa itulah maksudnya.”

Vera membungkuk ke depan.

“Saya heran. Ada berapa? Sepuluh?”

Vera berteriak,

“Lucu! Ada syair Sepuluh Anak Negro. Di kamar saya syair itu diberi bingkai dan diletakkan di atas perapian.”

Lombard berkata,

“Di kamar saya juga.”

“Dan kamar saya.”

“Dan kamar saya.”

Setiap orang mengatakannya. Vera berkata,

“Pikiran yang lucu, bukan?”

Tuan Justice Wargrave menggerutu, “Sangat kekanak-kanakan.” Dan dia minum anggur lagi.

Emily Brent memandang Vera Daythorne. Vera Daythorne memandang Nona Brent. Kedua wanita itu bangkit berdiri.

Di ruang tamu jendela jendela besar terbuka ke teras. Suara ombak terdengar gemerisik memukul karang.

Emily Brent berkata, “Suara yang menyenangkan.”

Vera berkata dengan tajam, “Saya benci dengan suara itu.”

Mata Nona Brent memandangnya dengan heran.

Muka Vera menjadi merah. Dia berkata dengan emosi yang lebih terkendali,

“Saya rasa tempat ini sangat tidak menyenangkan bila ada badai.”

Emily Brent menyetujuinya.

“Saya yakin rumah ini pasti ditutup pada musim salju,” katanya. “Tidak akan ada pembantu yang mau tinggal di sini.”

Vera menggumam,

“’Memang sulit mencari pembantu.”

Emily Brent berkata,

“Nyonya Oliver beruntung mendapat dua orang itu. Wanita itu pandai memasak.”

Vera berpikir: “Orang-orang tua itu lucu. Mereka selalu salah dalam menyebut nama.”

Dia berkata,

“Ya, saya rasa Nyonya Owen memang beruntung.”

Emily Brent mengeluarkan sulaman kecil dari tasnya. Ketika dia akan menusukkan jarumnya dia tertegun.

Dia berkata dengan tajam,

“Owen? Anda tadi menyebut Owen?”

“Ya.”

Emily Brent berkata dengan tajam,

“Saya tidak pernah mempunyai kenalan bernama Owen.”

Vera membelalak.

“Tapi tentunya —”

Dia tidak meneruskan kalimatnya. Pintu terbuka dan tamu tamu lain ikut bergabung dengan mereka.

Rogers mengikuti mereka dengan nampan kopi.

Tuan Hakim masuk dan duduk dekat Emily Brent. Armstrong mendekati Vera. Tony Marston melangkah ke jendela yang terbuka. Blore memperhatikan patung kuningan kecil dengan heran — mungkin bertanya-tanya apakah patung yang aneh itu patung wanita. Jenderal Macarthur berdiri dengan punggung menghadap perapian. Dia memilin kumis kecilnya yang putih. Makanan tadi enak sekali. Semangatnya timbul. Lombard membalik-balik halaman Punch yang terletak pada tumpukan koran di meja dekat dinding.

Rogers berkeliling dengan nampan kopinya.

Kopinya enak hitam dan panas.

Semua rombongan telah makan malam. Mereka puas dengan dirinya sendiri dan dengan hidup ini. Jarum jam menunjukkan jam sembilan lebih dua puluh menit. Ruangan itu hening — hening yang menyenangkan.

Dan dalam keheningan itu datanglah Sang Suara. Tanpa pemberitahuan, tanpa berperikemanusiaan, menembus tajam…

“Tuan tuan dan Nona nona! Harap tenang!

Setiap orang terkejut. Mereka melihat berkeliling, melihat satu sama lain, melihat ke dinding. Siapa yang berbicara?

Suara itu terdengar lagi tinggi dan jelas:

“Anda semua bertanggungjawab atas tuduhan berikut:

‘Edward George Amrstrong, apa yang Anda kerjakan pada tanggal 14 Maret 1925, menyebabkan kematian Louisa Marv Dees.’

‘Emily Caroline Brent, pada tanggal 5 Nopember 1931 Anda bertanggungjawab atas kematian Beatrice Taylor.’

‘William Henry Blore, Anda menyebabkan kematian Jows Stephen Landor pada tanggal 10 Oktober 1928.’

‘Tera Elizabeth Daythorne, pada tanggal 11 Agustus 1935 Anda membunuh Cyril Ogilvie Hamilton.’

‘Philip Lombard, pada bulan Pebruari 1932 Anda bersalah atas kematian dua puluh satu orang suku Afrika Tunur.’

‘John Gordon Macarthur, pada tanggal 14 Januari 1917 Anda dengan sengaja membunuh pacar istri Anda, Arthur Richmond.’

‘Anthony james Marston, pada tanggal 14 Nopember tahun lalu Anda bersalah atas kematian John dan Lucy Combes.’

‘Thomas Rogers dan Ethel Rogers, pada tanggal 6 Mei 1929 Anda menyebabkan kematian Jennifer Brady.’

‘Lawrence John Wargrave, pada tanggal 10 Juni 1930 Anda bersalah atas kematian Edward Seton.’

‘Terdakwa, apakah Anda ingin mengajukan pembelaan?’ ”

II

Suara itu berhenti.

Keheningan menyapu ruangan itu, dan kemudian terdengar suara barang pecah! Rogers menjatuhkan nampan kopinya!

Pada waktu yang sama, dari luar ruangan terdengar jeritan dan suara berdebam.

Lombard yang pertama bergerak. Dia meloncat ke pintu dan membukanya lebar-lebar. Di luar, Nyonya Rogers tergeletak.

Lombard memanggil,

“’Marston.”

Anthony melompat untuk membantu. Mereka mengangkat wanita itu dan membawanya ke dalam ruangan.

Dokter Armstrong mendekat. Dia membantu mereka mengangkat Nyonya Rogers ke atas soffa, dan memeriksanya. Dia cepat-cepat berkata,

“Tidak apa-apa. Dia hanya pingsan. Sebentar lagi akan sadar.”

Lombard berkata kepada Rogers,

“Ambilkan brandy.”

Dengan muka pucat dan tangan gemetar Rogers menggumam, “Baik, Tuan,” dan menyelinap ke luar dengan cepat.

Vera berteriak,

“Siapayang berbicara? Di mana dia? Kedengarannya — kedengarannya –”

Jenderal Macarthur menyahut dengan gugup,

“Apa yang terjadi di sini? Lelucon apa ini?”

Tangannya gemetar. Bahunya lemas. Tiba tiba saja dia kelihatan sepuluh tahun lebih tua.

Blore mengusap mukanya dengan sapu tangan. Hanya Tuan Justice Wargrave dan Nona Brent yang tidak terpengaruh. Emily Brent duduk tegak dengan kepala dijaga tegak. Pada kedua pipinya ada setitik warna. Tuan Hakim duduk dengan sikap biasa, kepalanya, terbenam pada lehernya. Tangannya menggaruk telinganya. Hanya matanya yang sibuk bekerja, menyelidik ke seluruh ruangan, bingung, tetapi siap siaga.

Sekali lagi, Lombard-lah yang memulai. Ketika Armstrong sibuk dengan wanita yang pingsan itu Lombard bebas untuk mengambil inisiatif.

Dia berkata,

“Suara itu? Kedengarannya ada di dalam ruangan.”

Vera berteriak,

“Siapa dia? Siapa? Bukan salah seorang dari kita.” Seperti Tuan Hakim, perlahan-lahan mata Lombard menjelajah ruangan. Mata itu berhenti sejenak pada jendela yang terbuka, lalu dia menggeleng dengan pasti. Tiba-tiba matanya bersinar. Dia melangkah cepat ke arah pintu di dekat perapian yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan lain.

Dengan gesit dipegangnya handel pintu dan dibukanya pintu itu lebar-lebar. Dia masuk dan berteriak dengan puas.

Dia berkata,

“Ah, ini dia.”

Yang lain beramai-ramai mengikutinya. Hanya, Nona Brent yang tetap duduk.

Di dalam ruangan itu terletak sebuah meja yang ditempelkan ke dinding ruang tamu. Di atas meja itu terdapat sebuah gramophon kuno dengan terompet besar. Mulut terompet itu menempel pada dinding. Ketika Lombard memiringkan terompet itu terlihat-lah tiga lubang pada dinding.

Lombard membetulkan letak gramophon itu dan memasang jarumnya pada piringan. Maka mereka pun segera mendengar lagi “Anda bertanggungjawab atas tuduhan berikut —”

Vera berteriak,

“Matikan! Matikan! Suaraitu mengerikan!”

Lombard menurut.

Dokter Armstrong berkata dengan lega,

“Lelucon yang memalukan dan tak berperasaan.”

Suara Tuan Justice Wargrave yang kecil dan nyaring terdengar bergumam,

“Jadi Anda mengira ini suatu lelucon?” Tuan Dokter memandangnya.

“Lalu apa, kalau bukan lelucon?”

Tangan hakim itu mengelus bibir atasnya.

Dia berkata,

“Pada saat ini saya belum siap untuk memberikan pendapat.”

Anthony Marston menyela. Dia berkata,

“Ada yang Anda lupakan. Siapa yang memutar gramophon ini?”

Wargrave bergumam,

Ya, saya rasa kita harus mencari tahu itu.”

Dia kembali ke ruang tamu. Yang lain mengikutinya.

Rogers baru saja masuk dengan segelas brandy. Nona Brent membungkuk didepan Nyonya Rogers. Dengan trampil Rogers menyelinap di antara kedua wanita itu.

“Maaf, Nona. Saya ingin bicara dengan dia. Ethel — Ethel — tidak apa-apa. Tidak apa-apa, engkau dengar? Kuatkan hatimu.”

Napas Nyonya Rogers menjadi cepat. Matanya, mata ketakutan, nyalang memandang berkeliling wajah demi wajah. Nada suara Rogers terdengar mendesak.

“Kuatkan hatimu, Ethel.”

Dokter Armstrong berkata menenangkan,

“Anda akan segera baik, Nyonya Rogers. Hanya kurang sehat saja.”

“Apakah saya pingsan, Tuan?” tanyanya.

“Ya.”

“Suara itu suara yang mengerikan — seperti pengadilan –”

Wajahnya menjadi pucat kembali. Kelopak matanya berkedip-kedip.

Dokter Armstrong berkata dengan tajam,

“Mana brandy-nya?”

Rogers telah meletakkan brandy itu di meja kecil.

Seseorang memberikannya pada dokter dan dia membungkuk di atas wanita yang terengah-engah itu.

“Minumlah, Nyonya Rogers.”

Dia minum, sedikit tersedak, dan terengah-engah.

Minuman itu membantunya. Mukanya kembali berwarna. Dia berkata,

“Saya tidak apa-apa sekarang. Itu — membuat saya kaget.”

Rogers berkata dengan cepat,

“Ya, memang. Saya sendiri juga kaget — sampai nampan itu terjatuh. Itu semua bohong! Saya ingin tahu –”

Perkataannya terpotong oleh sebuah batuk — hanya batuk kecil dan kering. Tetapi mampu membuatnya berhenti. Rogers memandang Tuan Justice Wargrave yang lalu batuk lagi. Kemudian dia berkata,

“Siapa yang meletakkan piringan ke atas gramophon. Apakah engkau, Rogers?”

Rogers berteriak,

“Saya tidak tahu apa isinya. Demi Tuhan, saya tidak tahu. Kalau saya tahu, saya tidak akan memutarnya.”

Tuan Hakim berkata,

“Itu mungkin benar. Tetapi aku rasa engkau lebih baik menjelaskannya, Rogers.”

Pelayan itu mengusap mukanya dengan sapu tangan. Dia berkata dengan sungguh-sungguh,

“Saya hanya mematuhi perintah saja, Tuan.”

“Perintah siapa?”

“Tuan Owen.”

Tuan Justice Wargrave berkata,

“Coba jelaskan. Perintah Tuan Owen — bagaimana tepatnya?”

Rogers berkata,

“Saya harus memasang piringan pada gramophon.

Piringan itu ada di laci. Istri saya harus memutarnya pada waktu saya memasuki ruang tamu dengan membawa kopi.”

Si Hakim menggumam,

“Cerita yang luar biasa.”

Rogers berteriak,

“Itu benar, Tuan. Saya berani bersumpah demi Tuhan, memang demikian. Saya tidak tahu sebelumnya apa isinya — tak sedikit pun. Piringan itu ada namanya. Saya kira piringan itu berisi lagu.”

Wargrave memandang pada Lombard.

“Apa ada judulnya?”

Lombard mengangguk. Dia menyeringai, menunjukkan gigi putihnya yang runcing runcing. Dia berkata,

“Benar, Tuan. Judulnya Swan Song…”

III

Jenderal Macarthur tiba-tiba berkata,

“Semuanya tidak masuk akal — tidak masuk akal! Membuat tuduhan seenaknya saja! Kita harus buat sesuatu. Si Owen ini, siapa pun dia —” Emily Brent menyela. Dia berkata dengan tajam, “Ya, Siapakah sebenarnya dia?”

Tuan Hakim mengambil alih pembicaraan. Dia berkata dengan suara berwibawa sebagaimana yang selalu terdengar di pengadilan,

“Itulah yang harus kita selidiki dengan hati-hati. Aku sarankan engkau membawa istrimu ke kamar lebih dahulu, Rogers. Kemudian kembali ke sini.”

“Baik, Tuan.”

Dokter Armstrong berkata,

“Aku akan membantumu, Rogers.”

Dengan bersandar kepada kedua lelaki tersebut, Nyonya Rogers meninggalkan ruangan. Ketika mereka telah pergi Tony Marston berkata,

“Saya akan minum. Apakah Anda juga mau?”

Lombard berkata,

“Ya, boleh.”

Tony berkata,

“Saya akan mengambilnya.”

Dia keluar ruangan.

Dengan cepat dia kembali.

“Saya temukan ini pada nampan di luar, siap untuk dibawa masuk.”

Dia meletakkan bawaannya dengan hati-hati. Satu dua menit berikutnya adalah acara membagi minuman. Jenderal Macarthur minum Whisky kental, demikian pula Tuan Hakim. Setiap orang merasa memerlukan perangsang. Hanya Emily Brent yang minta segelas air.

Dokter Armstrong masuk ke dalam ruangan lagi.

“Dia tidak apa-apa,” katanya. “Saya telah memberinya obat penenang. Apa itu, minuman? Saya juga mau.”

Beberapa tamu pria mengisi gelas mereka lagi.

Tidak lama kemudian Rogers masuk ke dalam ruangan.

Tuan Justice Wargrave memimpin sidang. Ruangan itu menjadi ruang sidang.

Tuan Hakim berkata,

“Baiklah, Rogers, kita harus mulai dari awal. Siapakah Tuan Owen ini?”

Rogers menatapnya.

“Dia pemilik rumah ini, Tuan.”

“Saya tahu. Yang ingin saya tanyakan apa yang kauketahui tentang dia?”

Rogers menggelengkan kepalanya.

“Saya tidak bisa mengatakan apa-apa, Tuan. Saya belum pernah bertemu dengan dia.” Ada sedikit keresahan dalam ruangan itu. Jenderal Macarthur berkata, “Engkau belum pernah bertemu dia? Apa maksudmu?”

“Saya dan istri saya belum seminggu di sini, Kami dihubungi dengan surat melalui suatu Agen Regina di Plymouth.”

Blore mengangguk.

“Perusahaan yang sudah cukup tua,” katanya.

Wargrave berkata,

’Apakah suratnya kaubawa?”

“Surat penerimaan kami? Tidak, Tuan. Saya tidak menyimpannya.”

“Teruskan ceritamu. Kau dihubungi dengan surat.”

“Ya, Tuan. Kami harus datang pada hari yang telah ditetapkan. Dan itu kami lakukan. Segala sesuatu telah disiapkan di sini. Banyak persediaan makanan, semuanya baik dan menyenangkan. Kami hanya perlu membersihkan sedikit-sedikit saja.”

“Apa lagi?”

“Tidak ada lagi, Tuan. Kami mendapat perintah dengan surat juga — untuk menyiapkan air kamar tamu untuk pesta di rumah. Dan kemarin petang saya mendapat surat lagi dari Tuan Owen. Dia mengatakan bahwa kedatangan mereka tertunda dan bahwa saya harus melayani dengan baik. Surat itu juga berisi instruksi untuk makan malam dan kopi dan menyetel piringan hitam.”

Tuan Hakim berkata dengan tajam,

“Tentunya surat itu masih ada, bukan?”

“Ya, Tuan, ini dia.”

Dia mengeluarkannya dari saku. Tuan Hakim mengambilnya. “Hm,” katanya. “Kertas surat Hotel Ritz dan diketik.”

Tiba tiba saja Blore sudah ada di sampingnya. Dia berkata, “Boleh saya melihatnya?”

Diambilnya surat itu dari tangan Tuan Hakim dan dibacanya. Dia menggumam,

“Mesin Coronation. Masih baru tidak ada cacatnya. Kertasnya — kertas yang banyak dipakai orang. Tidak ada petunjuk sama sekali. Mungkin sidik jari, tapi saya rasa tidak ada.”

Wargrave memandangnya penuh perhatian.

Anthony Marsten berdiri di samping Blore dan ikut melihat surat itu. Dia berkata,

“Nama baptisnya aneh bukan? Ulick Norma Owen. Panjang sekali.”

Tuan Hakim berkata,

“Anda benar, Tuan Marston. Anda telah mengalihkan perhatian saya pada suatu hal yang penting.”

Dia melihat berkeliling sambil menjulurkan lehernya dan bagaikan kura-kura marah dia berkata,

“Saya kira sudah tiba waktunya bagi kita semua untuk mengumpulkan keterangan. Sebaiknya setiap orang memberikan keterangan mengenai pemilik rumah ini.” Dia berhenti dan kemudian meneruskan, “Kita semua tamunya. Saya rasa dengan menceritakan dari awal bagaimana sampai kita datang ke sini, akan sangat membantu memecahkan persoalan ini.”

Suasana hening sesaat dan kemudian Emily Brent berbicara dengan tegas,

“Ada sesuatu yang ganjil dalam kejadian ini,” katanya. “Saya menerima surat dengan tanda tangan yang tidak begitu jelas untuk dibaca. Surat itu menunjukkan dari seorang wanita yang pernah saya jumpai pada suatu tempat rekreasi musim panas dua atau tiga tahun yang lalu. Saya rasa namanya adalah Ogden atau Oliver. Saya memang kenal dengan Nyonya Oliver atau Nyonya Ogden. Saya yakin sekali bahwa saya tidak pernah bertemu atau menjadi akrab dengan seseorang yang bernama Owen.”

Tuan Justice Wargrave berkata,

“Anda menyimpan surat itu, Nona Brent?”

“Ya, akan saya ambil.”

Dia pergi, dan sebentar kemudian dia kembali dengan surat tersebut.

Tuan Hakim membacanya. Dia berkata,

“Saya mengerti… Nona Daythorne?”

Vera menerangkan bagaimana dia diterima sebagai sekretaris.

Tuan Hakim berkata,

“Marston?”

Anthony berkata,

“Saya mendapat telegram dari seorang teman bernarna Badger Berkeley. Memang saya agak heran waktu itu karena saya pikir dia telah pergi ke Norwegia. Dia menyuruh saya ke sini.”

Tuan Hakim mengangguk lagi. Dia berkata,

“Dokter Armstrong?”

“Saya mendapat panggilan profesional.”

“Begitu? Sebelumnya Anda tidak mengenal keluarga ini?”

“Tidak. Dalam surat itu dia menyebut-nyebut seorang teman saya.”

Tuan hakim berkata,

“Untuk mengelabui… ya, dan saya kira teman Anda itu sudah lama tidak berjumpa dengan Anda?”

“Ya, benar.”

Lombard yang sejak tadi memandang Blore tiba-tiba berkata,

“Saya baru saja berpikir —”

Tuan Hakim mengangkat tangannya.

“Sebentar —”

“Tetapi saya kira –”

“Kita akan menyelesaikan persoalan satu persatu, Tuan Lombard. Sekarang ini kita sedang membicarakan sebab-sebab kita berada di sini malam ini Jenderal Macarthur?”

Sambil memelintir kumisnya jenderal itu mengumam,

“Terima surat — dari si Owen itu — menyebu-nyebut beberapa kawan lama akan datang ke sini — dia minta maaf karena mengundang secara tidak resmi. Sayang saya tidak menyimpan suratnya.”

Wargrave berkata, “Tuan Lombard?”

Pikiran Lombard bekerja. Apakah dia akan berterus terang atau tidak? Akhirnya dia memutuskan,

“Sama dengan yang lain,” katanya. “Undangan menyebut beberapa teman — dan saya tertarik. Saya telah menyobek surat itu.”

Tuan Justice Wargrave mengalihkan perhatiannya pada Tuan Blore. Jari telunjuknya mengusap bibir atasnya dan suaranya sopan tetapi bernada mengancam.

Dia berkata,

“Kita baru saja mengalami sesuatu yang agak mengganggu. Suatu suara tanpa orang telah berbicara dengan menyebut nama kita masing-masing dan menyebutkan tuduhan-tuduhan. Kita akan menghadapi tuduhan itu nanti. Pada saat ini saya tertarik pada suatu hal kecil. Di antara nama-nama yang disebut terdapat nama William Henry Blore. Tapi, di sini tidak ada seorang pun dengan nama itu. Nama Davis tidak disebut. Apakah Anda bisa menerangkan hal ini, Tuan Davis?”

“Rupanya kucing itu harus keluar dari karung. Terus terang saja nama saya bukan Davis.”

“Anda William Henry Blore?”

“Benar.”

“Saya akan menambahkan sesuatu!” kata Lombard. “Anda tidak hanya memalsukan nama, Tuan Blore, tetapi saya juga melihat Anda sebagai seorang penipu kelas satu pada sore ini. Anda bilang berasal dari Natal, Afrika Selatan. Saya tahu tentang Afrika Selatan dan Natal, dan saya bersedia bersumpah bahwa Anda sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki ke Afrika Selatan selama hidup Anda.”

Semua mata beralih kepada Blore. Mata yang marah dan penuh curiga. Anthony Marston mendekat selangkah kepadanya. Kedua jari tangannya mengepal.

“Nah, Babi,” katanya, “Ada keterangan?”

Blore menarik kepalanya ke belakang dan berkata,

“Anda semua salah sangka,” katanya. “Saya punya kartu pengenal dan Anda bisa melihatnya. Saya adalah bekas seorang CID. [Criminal Investigation Department, Biro Penyelidikan Kriminal] Saya punya agen detektif di Plymouth. Dan saya ditugaskan,di sini.”

Tuan Justice Wargrave bertanya,

“Oleh siapa?”

“Oleh si Owen ini. Dia menyertakan sejumlah uang yang cukup banyak untuk biaya dan menginstruksikan saya apa yang diinginkannya. Saya harus bergabung dalam pesta ini, berperan sebagai tamu. Saya diberi semua nama Anda. Saya diberi tugas untuk memperhatikan Anda semua.”

“Ada alasannya?”

Blore berkata dengan pahit.

“Permata Nyonya Owen. Nyonya Owen! Saya tidak percaya Nyonya Owen itu ada.”

Sekali lagi, telunjuk Tuan Hakim mengusap bibirnya. Kali ini dengan rasa senang.

“Saya rasa kesimpulan Anda bisa diterima,” katanya. “Ulick Norman Owen! Dalam surat Nona Brent, walaupun nama keluarganya tidak jelas, tapi nama baptisnya sangat jelas — Una Nancy — pada keduanya Anda bisa melihat inisial yang sama. Ulick Norman Owen — Una Nancy Owen — setiap kali adalah U.N. Owen. Atau bisa kita kembangkan sebagai UNKNOWN (tak dikenal).”

Vera berteriak,

“Tetapi ini fantastis — gila!”

Tuan Hakim mengangguk pelahan.

Dia berkata,

“Oh, ya. Saya tidak meragukan bahwa kita telah diundang oleh seorang yang gila mungkin seorang pembunuh gila yang berbahaya.”

“Saya rasa Anda benar.”

Загрузка...